Sabtu, 30 Mei 2020

Sekop Tingkatkan Jawasgur

Seorang guru harus selalu meningkatkan kemampuan profesionalnya, pengetahuan, sikap dan keterampilannya secara terus-menerus sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi termasuk paradigma baru pendidikan. Menurut Dirjen  Pendidikan Dasar dan Menengah Departeman Pendidikan Nasional (2004: 2)  seorang guru  harus memenuhi tiga standar kompetensi, di antaranya: (1) Kompetensi Pengelolaan Pembelajaran dan  Wawasan Kependidikan, (2) Kompetensi Akademik/Vokasional sesuai materi pembelajaran, (3) Pengembangan Profesi. Ketiga  kompetensi tersebut bertujuan agar guru bermutu, menjadikan pembelajaran bermutu juga, yang akhirnya meningkatkan  mutu pendidikan Indonesia.

Untuk mencapai tiga kompetensi tersebut, kepala sekolah harus melaksanakan  pembinaan   terhadap  guru   baik   melalui   sekop. Hal itu harus dilakukan secara periodik agar jawasgur  bertambah sebab berdasarkan diskusi yang  dilakukan guru di   SD Negeri Candisari, rendahnya jawasgur diakibatkan (1) rendahnya  kesadaran guru untuk  belajar, (2) kurangnya kesempatan guru mengikuti pelatihan, (3)  kurang  efektifnya  PKG, (4) supervisi  pendidikan yang bertujuan memperbaiki proses pembelajaran  cenderung menitikberatkan pada  aspek administrasi.

Untuk memperbaiki Jawasgur dalam pembelajaran di SD Negeri Candisari,  kepala sekolah melaksanakan tindakan berupa Sekop. Apakah Sekop itu? Dan apa pula Jawasgur? Sekop merupakan akronim dari Supervisi Edukatif  Kolaboratif secara Periodik. Sedangkan jawasgur merupakan akronim dari Kinerja dan Wawasan Guru.

Supervisi edukatif merupakan supervisi yang diarahkan pada kurikulum pembelajaran,  proses belajar  mengajar,  pelaksanaan bimbingan dan konseling. Supervisi ini dapat dilakukan oleh pengawas, kepala sekolah, maupun guru senior yang sudah pernah menjadi instruktur mata pelajaran. Menurut Dirjen  Dikmenum (1884:15)  pelaksanaan supervisi tersebut dapat dilakukan dengan cara  (1) wawancara, (2) observasi.

Proses pembelajaran akan berjalan dengan baik dan bermakna  bila terjadi interaksi antara guru dan siswa. Maka agar proses pembelajaran lebih bermakna dan diminati siswa, maka salah satu usaha guru dalam melaksanakan proses pembelajaran terlebih dahulu harus mempersiapkan perangkatnya dan menyiapkan dengan matang sehingga pada saat pelaksanaaan pembelajaran di kelas benar-benar siap.

Supervisi edukatif kolaboratif secara pereodik dengan menekankan pada pemberian bantuan melalui pendekatan pembinaan dan pembimbingan yang difokuskan pada perbaikan pembelajaran, bila direncanakan, dikemas secara menarik dan dilaksanakan secara baik akan meningkatkan kompetensi guru dan meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah.

Kepala sekolah dalam melaksanakan observasi, dapat  memilih  satu atau beberapa kelas, serta mengamati kegiatan guru dan layanan bimbingan.  Menurut Dirjen Dikmenum (1884:16) observasi tersebut bisa berupa: (1) Observasi kegiatan belajar mengajar meliputi: (a)  persiapan mengajar, (b) pelaksanaan satuan pelajaran  di dalam kelas, dan (c) pelaksanaan penilaian. (2) Observasi kegiatan Bimbingan dan konseling meliputi: (a) program kegiatan bimbingan dan konseling di sekolah, (b) pelaksanaan bimbingan dan konseling di sekolah, (c) kelengkapan administrasi/ perlengkapan Bimbingan dan Konseling, (d) penilaian dan laporan.

Selain  di atas,  supervisor harus  melakukan  observasi dan wawancara sekaligus yang berkaitan dengan  kegiatan belajar mengajar di kelas. Menurut Dirjen Dikmenum (1884:17) yang termasuk PBM adalah: (1) persiapan mengajar, yang terdiri atas; (a) membuat program tahunan, (b) membuat  program semester, (c)  membuat rencana pelaksanaan pembelajaran atau rencana pembelajaran. (2)  melaksanakan PBM, yang terdiri atas: (a) pendahuluan, (b) pengembangan, (c) penerapan, (d) penutup. (3) penilaian, yang di dalamnya: (a) memiliki kumpulan soal, (b)  analisis hasil belajar.

 


Discovery Learning Tingkatkan Motivasi Belajar IPS SD

 Berbagai upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan telah dilakukan oleh bangsa Indonesia, namun ketimpangan mutu pendidikan masih saja terjadi, walaupun sudah dilaksanakan program desentralisasi. Hasil penelitian Ervannudin dan Widodo (2016) menunjukkan masih adanya ketimpangan mutu pendidikan walaupun sekolah yang bersangkutan telah menjadi uji coba desentralisasi pendidikan. Upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan perlu dibuat kebijakan pendidikan yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan. Kebijakan itu diantaranya: perlunya melengkapi bahan ajar yang berbasis multimedia dan memberikan bekal penguasaan TIK kepada guru, agar guru mampu melaksanakan pembelajaran berbasis multimedia (Arsyad, 2019: 1)

Kebijakan perlunya pemanfaatan multimedia juga dinyatakan oleh Setiawan dkk (2017) yang menyatakan bahwa kebijakan lainnya adalah perlunya pelatihan untuk sampai kepada substansi bidang studi. Hal ini mengingat pelatihan yang pernah dilakukan, berdasarkan penelitian Bahrissalim dan Fauzan (2018), memberikan sumbangan terhadap peningkatan kompetensi paedagogis, terutama membuat perangkat kurikulum, tetapi belum sampai pada substansi bidang studi. Hasil penelitian Mawardi dan Mariati (2016: 141) menyimpulkan bahwa penggunaan model pembelajaran discovery learning lebih efektif untuk meningkatkan hasil belajar siswa pada pembelajaran IPA. Hal ini menyangkut isi yang bersifat ilmiah, relevan, memadai, aktual dan kontekstual, fleksibel dan menyeluruh, serta yang menyangkut tata urutan yang sistematis dan konsisten.

Pengembangan pembelajaran IPS dengan menggunakan model discovery learning dalam rangka mengoptimalkan perubahan perilaku yang positif dan prestasi akademik siswa, kegiatan pembelajarannya dibagi menjadi tiga bagian, yaitu tahap pendahuluan, tahap kegiatan inti, dan tahap kegiatan penutup. Ketiga tahapan tersebut akan diwujudkan dalam bentuk beragam kegiatan sesuai dengan model klasikal, kelompok, dan individu secara siklus dan dapat dimulai dari klasikal, kelompok, atau individu sesuai kebutuhan. Tim belajar kelompok kecil dengan anggota lima siswa dengan kemampuan awal berbeda (1 tinggi, 2 sedang, dan 1 rendah) dan dibentuk setiap tatap muka pembelajaran untuk materi baru.

Pembelajaran dengan model discovery learning melibatkan lima komponen strategi pembelajaran, yaitu peragaan, bertanya, inkuiri, masyarakat belajar, dan penilaian nyata berbasis portofolio. Secara garis besar langkah penerapan model discovery learning dalam kelas adalah (1) kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksikan sendiri pengetahuan dan ketrampilan barunya; (2) kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya; (3) laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik; (4) ciptakan”masayarakat belajar” (belajar dalam kelompok-kelompok); (5) hadirkan ”model” sebagai contoh pembelajaran; (6) lakukan refleksi di akhir pembelajaran; dan (7) lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara lalu dokumentasikan hasilnya.

Untuk menguasai IPS sekolah secara baik diperlukan pendekatan dan model pembelajaran yang memperhatikan keragaman individu siswa. Hal ini sesuai dengan prinsip pelaksanaan kurikulum 2013, yakni siswa harus mendapatkan pelayanan pendidikan yang bermutu, serta memperoleh kesempatan untuk mengekspresikan dirinya secara bebas, dinamis, dan menyenangkan.

Keberhasilan implementasi Kurikulum 2013 banyak dipengaruhi oleh kemampuan guru. Artinya, pada diri gurulah keberhasilan implementasi Kurikulum 2013 dibebankan. Makna lebih lanjut, sebaik apapun desain Kurikulum 2013 jika guru tidak mampu mengimplementasikannya, desain Kurikulum 2013 tersebut tidak akan pernah terwujud di dalam proses pembelajaran.

 

 

 


Pendidikan Karakter Bangun Peradaban Bangsa

Proses pendidikan di sekolah masih banyak yang mementingkan aspek kognitifnya ketimbang psikomotoriknya, masih banyak guru di sekolah yang hanya asal mengajar, tanpa mengajarkan bagaimana etika yang baik yang harus dillaksanakan.

Di dalam buku tentang Kecerdasan Ganda (Multiple Intelligences), Daniel Goleman menjelaskan bahwa kecerdasan emosional dan sosial dalam kehidupan diperlukan 80%, sementara kecerdasan intelektual hanyalah 20% saja. Dalam hal inilah maka pendidikan karakter diperlukan untuk membangun kehidupan yang lebih baik dan beradab, bukan kehidupan yang justru dipenuhi dengan perilaku biadab. Maka terpikirlah oleh para cerdik pandai tentang apa yang dikenal dengan pendidikan karakter (character education).

Banyak pilar karakter yang harus kita tanamkan kepada peserta didik penerus bangsa, diantaranya adalah kejujuran, yah kejujuran adalah hal yang paling pertama harus ditanamkan pada diri kita maupun peserta didik penerus bangsa karena kejujuran adalah benteng dari segalanya, Demikian juga ada pilar karakter tentang keadilan, karena  seperti yang dapat dilihat banyak sekali ketidakadilan khususnya di negara ini. Selain itu harus ditanamkan juga pilar karakter seperti rasa hormat. Hormat kepada siapapun itu, contohnya adik kelas mempunyai rasa hormat kepada kakak kelasnya, dan kakak kelasnya pun menyayangi adik kelasnya, begitu juga dengan teman seangkatan rasa saling menghargai harus ada dalam diri setiap peserta didik agar tercipta dunia pendidikan yang tidak ramai akan tawuran.

Penguatan pendidikan karakter dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah semakin digencarkan untuk menghasilkan pribadi yang unggul serta mengembangkan jiwa kepemimpinan. Sekolah diharapkan menjadi tempat yang nyaman dan menyenangkan bagi peserta didik. Gurupun didorong menjadi inspirator bagi peserta didik.

Penguatan karakter ini diamanatkan dalam nawacita pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Porsi pendidikan karakter untuk SD 70% dan 30% untuk penanaman pengetahuan. Untuk SMP 60% untuk penguatan karakter dan 40% untuk pengetahuan (Kompas,28/4/2017).

Pendidikan karakter juga bukan sesuatu yang ada di atas langit sehingga sulit dijangkau atau berada di luar realitas. Pendidikan karakter dapat diimplementasikan di sekolah melalui penerapan aturan yang sebenarnya biasa namun bermakna luar biasa. Sekolah harus memulainya melalui hal-hal kecil. Contohnya mengawali setiap pelajaran dengan doa, bersalaman dengan guru sebelum mengikuti pembelajaran di kelas, tidak mencoret-coret tembok dan fasilitas umum, tidak mencontek saat ujian, memperhatikan penjelasan guru saat pelajaran, menyapa orang lain saat bertemu, membuang sampah pada tempatnya, dan masih banyak hal praktis lainnya.

Jika hal kecil tersebut dapat dilaksanakan dengan baik dalam lingkup sekolah dan menjadi suatu rutinitas, sehingga menjadi kebiasaan dan sulit dipisahkan dari pribadi seseorang dan terbawa terus dalam keseharian hidup di tengah masyarakat, maka akan tercipta suasana nyaman, aman, dan tertib

Dengan diterapkannnya pendidikan karakter di sekolah semua potensi kecerdasan peserta didik  akan dilandisi oleh karakter – karakter yang dapat membawa mereka menjadi orang – orang yang diharapkan sebagai penerus bangsa. Bebas dari korupsi, ketidakadilan dan lainnya. Dan makin menjadi bangsa yang berpegang teguh kepada karakter yang kuat dan beradab. Walaupun mendidik karakter tidak semudah membalikan telapak tangan, oleh karena itu ajarkanlah kepada anak bangsa pendidikan karakter sejak usia dini.

 


Batu Akik Model Klawing Sukseskan GLS

Tahun 2017, Gerakan Literasi Sekolah (GLS) berfokus pada sosialisasi integrasi literasi dalam pembelajaran semua mata pelajaran di kelas. Pengertian literasi yang  disosialisasikan Kemendikbud bukanlah sekadar kegiatan membaca dan menulis. Lebih dari itu, literasi dipahami sebagai kemampuan mengakses, mencerna, dan memanfaatkan informasi secara cerdas. Penumbuhan budaya baca menjadi sarana untuk mewujudkan warga sekolah yang literat, dekat dengan buku, dan terbiasa menggunakan bahan bacaan dalam memecahkan beragam persoalan kehidupan.

GLS merupakan program pemerintah yang dicanangkan untuk membudayakan literasi siswa. Salah satu budaya literasi yang ingin ditingkatkan adalah budaya membaca dan menulis. Pemerintah tampaknya prihatin dengan kondisi yang menunjukkan, bahwa budaya literasi baca tulis siswa sangat rendah. Kondisi ini menjadikan keprihatinan guru, karena kegagagalannya dalam melaksanakan proses pembelajaran di dalam kelas yang belum mampu membangkitkan budaya baca tulis bagi siswa.

Terkait dengan kondisi tersebut penulis mencoba mencari solusi bagaimana agar proses pembelajaran di kelas menjadi lebih efektif dan mampu membangkitkan budaya literasi baca tulis bagi siswa. Solusi tersebut menggunakan metode Batu Akik model Klawing. Adapun Batu Akik akronom dari Baca Tulis Aktif, Kreatif, Inovatif dan Kooperatif. Sedangkan model Klawing akronim dari tahapan suatu model pembelajaran yaitu 1) Kelompok, 2) Latihan, 3) Amati, 4) Waktu, 5) Instruksi, 6) Nilai, dan 7) Games.(diambil dari google chrome admin  Dr. Sigit Mangun Wardoyo, S. Pd., M. Pd)

Siswa dibentuk menjadi kelompok kecil secara hiterogen dengan berbagai teknik pembentukan kelompok yang menyenangkan dan kreatif. Dilanjutkan kegiatan latihan yang dikemas sedemikian rupa sehingga latihan tersebut menyenangkan, kreatif dengan pengoptimalan media pembelajaran yang inovatif. Pada saat proses latihan guru melakukan pengamatan terhadap kemampuan yang dipelajari siswa pada masing masing anggota kelompok secara bergantian. Siswa dalam melaksanakan latihan diberi batasan waktu supaya menguasai kompetensi yang diharapkan pada masing masing anggota kelompok. Adanya batasan waktu yang diberikan oleh guru diharapkan siswa mampu secara efektif menguasai komptensi yang diajarkan dalam proses pembelajaran. Kecuali itu Guru juga meberikan intruksi kepada siswa, agar secara bersama-sama untuk melakukan kegiatan yang diinginkan oleh guru untuk memberikan penguatan dan evaluasi terhadap kompetensi yang akan diukur dengan cepat dan tepat. Di dalam proses pembelajaran inilah terjadi juga proses penilaian terhadap masing masing kemampuan siswa pada kelompok masing masing. Dari proses penilaian ini nantinya akan ditentukan siswa dengan kriteria yang ditentukan sesuai dengan ukuran kemampuan masing masing. Dan sintaks yang terakhir adalah game (permainan). Guru melakukan games permainan dengan melibatkan masing-masing peserta didik sesuai dengan kompetensi yang diharapkan. Games atau permainan ini dilakukan secara aktif, kreatif, inovatif dan kooperatif yang lebih menantang dalam suatu pembelajaran.

Tujuh langkah (sintaks) pembelajaran model KLAWING ini menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan dan prinsip dasar dalam pelaksanaan pembalajaran. Pembelajaran model KLAWING dikembangkan dari berbagai model yang telah ada sebelumnya dengan penyempurnaan yang dilakukan secara ilmiah.

Model KLAWING dilaksanakan dengan memadukan pembelajaran yang Aktif, Kreatif, Inovatif dan Kooperatif agar mampu menciptakan pembelajaran yang bermakna untuk setiap tema dan mata pelajaran yang ada di Sekolah Dasar sehingga dapat mewujudkan budaya literasi baca tulis dan proses pembelajaran berjalan efektif.

Demikian yang dapat  penulis sampaikan semoga bermanfaat bagi guru Sekolah Dasar pada khususnya dan pembaca pada umumnya. Tak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada Dr. Sigit Mangun Wardoyo, S.Pd.,M.Pd .yang telah menginspirasi penulis sehingga tercipta artikel ini.


Pendekatan STM Sukseskan Pembelajaran IPA di SD

Sebagai guru kita selalu berusaha untuk selalu berinovasi dalam menyampaikan materi pembelajaran sehingga peserta didik merasa tertarik, nyaman, senang dan  betah di sekolah. Berbagai macam pendekatan, setrategi dan metode kita pilih sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik peserta didik sehingga terjadi kesinkronan dan kesesuaian yang berakibat kesuksesan hasil prestasi peserta didik.

Di sini penulis akan sedikit memaparkan salah satu pendekatan yang cocok digunakan untuk pembelajaran IPA di Sekolah Dasar. Mungkin pembaca sudah sangat mengenal dengan pendekatan STM. Apakah STM itu ? STM adalah kependekan dari Sains Teknologi dan Masyarakat

National Science Teachers Association (NSTA) (1990:1) memandang STM sebagai the teaching and learning of science in the context of human experience. STM dipandang sebagai proses pembelajaran yang senantiasa sesuai dengan konteks pengalaman manusia. Dalam pendekatan ini peserta didik diajak untuk meningkatakan kreativitas, sikap ilmiah, menggunakan konsep dan proses sains dalam kehidupan sehari-hari.

Definisi lain tentang STM dikemukakan oleh PENN STATE (2006:1) bahwa STM merupakan an interdisciplinary approach whichreflects the widespread realization that in order to meet the increasingdemands of a technical society, education must integrate acrossdisciplines. Dengan demikian, pembelajaran dengan pendekatan STM haruslah diselenggarakan dengan cara mengintegrasikan berbagai disiplin (ilmu) dalam rangka memahami berbagai hubungan yang terjadi di antara sains, teknologi dan masyarakat. Hal ini berarti bahwa pemahaman kita terhadap hubungan antara sistem politik, tradisi masyarakat dan bagaimana pengaruh sains dan teknologi terhadap hubungan-hubungan tersebut menjadi bagian yang penting dalam pengembangan pembelajaran di era sekarang ini.

Pandangan tersebut senada dengan pendapat NC State University (2006:1), bahwa STM merupakan an interdisciplinery field of study that seeks to explore a understand the many ways that scinence and technology shape culture, values, and institution, and how such factors shape science and technology. STM dengan demikian adalah sebuah pendekatan yang dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana sains dan teknologi masuk dan mengubah proses-proses sosial di masyarakat, dan bagaimana situasi sosial mempengaruhi perkembangan sains dan teknologi.

Hasil penelitian dari National Science Teacher Association (NSTA) (dalam Poedjiadi,2000) menunjukan bahwa pembelajaran sains dengan menggunakan pendekatan STM mempunyai beberapa perbedaan jika dibandingkan dengan cara biasa. Perbedaan tersebut ada pada aspek: kaitan dan aplikasi bahan pelajaran, kreativitas, sikap, proses, dan konsep pengetahuan. Melalui pendekatan STM ini guru dianggap sebagai fasilitator dan informasi yang diterima peserta didik akan lebih lama diingat.

Sebenarnya dalam pembelajaran dengan menggunakan pendekatan STM ini tercakup juga adanya pemecahan masalah, tetapi masalah itu lebih ditekankan pada masalah yang ditemukan sehari-hari yang dalam pemecahannya menggunakan langkah-langkah tertentu (ilmiahhttp://smacepiring.wordpress.com/2008/02/19/pendekatandanmetodepembelajaran/)

Demikian yang dapat penulis sampaikan semoga bermanfaat. Aamiin.

 


Mentoring Cara Cerdas Kepala Sekolah Untuk Meningkatkan Mutu Pendidikan di Sekolah

Mentoring adalah suatu hubungan antara dua orang yang memberikan kesempatan untuk berdiskusi yang menghasilkan refleksi, melakukan kegiatan/ tugas dan pembelajaran untuk keduanya yang didasarkan kepada dukungan, kritik membangun, keterbukaan, kepercayaan, penghargaan dan keinginan untuk belajar dan berbagi (Ali & Panther, 2008; Anderson, 2011).

Mentoring yaitu hubungan yang saling menguntungkan dari seseorang yang mempunyai pengalaman lebih kepada individu yang kurang berpengalaman untuk mengidentifikasi dan meraih tujuan bersama (Ali & Panther, 2008; Anderson, 2011; Dadge & Casey, 2009; McKimm, Jolie & Hatter, 2007).

Mentoring atau pendampingan dapat didefinisikan sebagai proses yang dilakukan untuk mendukung dan mendorong seseorang untuk mengelola belajarnya agar dapat mengembangkan potensinya secara maksimal, mengembangkan keterampilan, meningkatkan kualitas kinerja, dan menjadi seperti yang diinginkan (Parsloe dan Leedham, 2009). Mentor atau pendamping adalah seseorang yang membantu si terdamping menemukan arah yang benar dalam mencari pemecahan masalah-masalah karirnya (Parsloe dan Leedham, 2009).

Kelebihan menggunakan setrategi dengan mentoring adalah:  (a) Penanaman nilai-nilai agama dan moral dapat dilakukan lebih intensif. (b) Perhatian yang diberikan oleh mentor lebih terasa karena berada dalam kelompok kecil. (c) Terdamping bisa menceritakan permaslahan yang dihadapinya dan meminta penyelesaian secara bersama. (d)  Sentuhan yang diberikan adalah sentuhan emosional, sehingga menjalin kedekatan antar anggota dan mentor dalam kelompok. (e) Evaluasi dapat dilakukan secara rutin oleh mentor dan itu mempermudah mentor mengetahui kondisi pesertanya. (f) Terdamping merasa lebih dihargai karena diberi kesempatan dan kepercayaan untuk memecahkan masalah temannya. (g) Melatih jiwa kepemimpinan dan kepekaan sosial.

Pendamping bersandar pada kepemilikan pengalaman yang sama untuk mendapatkan empati dari terdamping dan pemahaman tentang masalah mereka. Seorang pendamping memiliki peran dalam membantu terdamping untuk menumbuhkan motivasi dan percaya dirinya. Berdasarkan penjelasan mengenai mentoring atau pendampingan ini maka dapat dilihat bahwa posisi kepala sekolah sebagai pendamping dan guru sebagai terdamping adalah sejajar, dimana keduanya memiliki visi yang sama dan berbagi pengetahuan (sharing knowledge) berdasarkan visi tersebut. Kepala sekolah mendampingi guru sebagai rekan atau sahabat untuk memberikan masukan dan dorongan motivasi dalam menjalankan tugas sebagai pengajar di sekolah.

Mentoring atau pendampingan merupakan follow up atau kelanjutan dari proses FGD yang telah dilakukan sebelumnya. Setelah penulis dan para guru secara bersama-sama menemukan permasalahan yang selama ini dihadapi dalam proses pembelajaran, maka selanjutnya penulis secara berkala melakukan proses pendampingan kepada setiap guru untuk membantu secara personal mengatasi permasalahannya. Dalam hal ini penulis tidak bertindak sebagai kepala sekolah yang mengawasi kinerja bawahannya tetapi bertindak sebagai sahabat atau pendamping yang secara suka rela dan terbuka bersedia berbagi pengalaman dan solusi bagi permasalahan yang dihadapi. Berbeda dengan proses FGD yang dilakukan secara terstruktur dan terjadwal, kegiatan mentoring dilaksanakan melalui proses on going learning di mana kepala sekolah sebagai mentor mendampingi guru secara aktif dengan memperhatikan kebutuhan guru tersebut. Penulis juga secara rutin memantau perkembangan para guru yang didampingi memastikan proses mentoring ini berjalan secara berkesinambungan.

 

 


Komsek Tingkatkan Partisipasi Masyarakat Untuk Meningkatkan Kualitas Pendidikan di Sekolah

Apakah Komsek itu? Komsek merupakan akronim dari Komite Sekolah. Komite Sekolah adalah organisasi mandiri yang beranggotakan orang tua/wali siswa, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan. Pemberdayaan komite sekolah pada dasarnya merupakan kegiatan yang dirancang sebagai kegiatan lanjutan dari kegiatan pemberdayaan paguyuban kelas. Jika dalam kegiatan pemberdayaan paguyuban kelas pihak sekolah yang dituntut untuk terlibat secara aktif dalam berkomunikasi dan memberikan pemahaman kepada orang tua siswa, maka dalam pemberdayaan komite sekolah orang tua siswalah yang didorong untuk terlibat secara langsung dan aktif untuk memberikan dukungan pada proses belajar anak di sekolah. Hal ini sejalan dengan pendapat Comer dan Haynes (1997) yang menyatakan bahwa anak-anak belajar dengan lebih baik jika lingkungan sekelilingnya mendukung, yaitu orangtua, guru, dan anggota keluarga lainnya serta kalangan masyarakat sekitar.

Komsek dapat melaksanakan fungsinya sebagai partner sekolah dalam mengadakan sumber-sumber daya pendidikan dalam rangka melaksanakan pengelolaan pendidikan yang dapat mewujudkan fasilitas bagi guru dan siswa untuk belajar sehingga pembelajaran menjadi semakin efektif.

           Adanya sinergi antara komite sekolah dengan pihak sekolah melahirkan tanggung jawab bersama antara sekolah dan masyarakat sebagai mitra kerja dalam membangun pendidikan. Dari sini masyarakat akan dapat menyalurkan berbagai ide dan partisipasinya dalam memajukan pendidikan di sekolah tersebut.

           Pihak sekolah harus mampu meyakinkan orang tua, pemerintah setempat, dunia usaha, dan masyarakat pada umumnya bahwa sekolah itu dapat dipercaya. Dengan demikian, sekolah pada tataran teknis perlu mengembangkan kemampuan menganalisis biaya sekolah yang berkorelasi signifikan terhadap mutu pendidikan yang diperolehnya.

            Pemberdayaan Komite Sekolah dapat diwujudkan diantaranya melalui pelibatan mereka dalam penyusunan rencana dan program sekolah, RAPBS, pelaksanaan program pendidikan dan penyelenggaraan akuntabilitas pendidikan.   Salah satu tugas dan fungsi komite adalah sebagai badan pertimbangan dan pendukung dalam hal penyusunan dan penetapan RAPBS serta memberi dukungan dalam financial khususnya dalam penggalian dana dari wali siswa atau masyarakat.

            Fungsi, tugas, dan tanggung jawab Komite Sekolah disesuaikan dengan kebutuhan sekolah. Peran komite sekolah bukan hanya sebatas pada mobilisasi sumbangan dan mengawasi pelaksanaan pendidikan, namun juga meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan perancanaan sekolah yang dapat merubah pola pikir, keterampilan, dan distribusi kewenangan atas individual dan masyarakat yang dapat memperluas kapasitas manusia meningkatkan taraf hidup dalam sistem manajemen pemberdayaan sekolah.

            Dengan demikian, dapat disimpulkan, Komite Sekolah adalah badan mandiri yang mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan, dan efesiansi pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan, baik pada pendidikan prasekolah, jalur pendidikan sekolah, maupun luar sekolah.

Melalui kehadiran orang tua secara langsung di sekolah, mereka dapat dengan leluasa melihat dan memahami proses belajar mengajar yang dilaksanakan oleh pihak sekolah. Hal ini sangat penting untuk membangun pemahaman mereka mengenai tugas guru dalam mendidik anak yang dapat menumbuhkan rasa simpati dan penghargaan bagi profesi guru. Selain itu kegiatan pemberdayaan komsek memiliki implikasi positif untuk membangun inteaksi dan keterlibatan aktif dari orang tua siswa sehingga mereka dapat merasa ikut dilibatkan dalam proses pendidikan anak di sekolah. Dalam kegiatan komsek ini juga orang tua siswa dapat secara langsung memberikan masukan kepada kepala sekolah dan guru mengenai harapan-harapannya terkait dengan pendidikan anak.

 


PK Tingkatkan Partisipasi Masyarakat Untuk Meningkatkan Kualitas Pendidikan di Sekolah

Apakah PK itu? PK merupakan singkatan dari Paguyuban Kelas. Paguyuban Kelas  merupakan perkumpulan orang tua siswa dalam suatu kelas yang bertujuan untuk membangun, menumbuhkan, dan meningkatkan partisipasi kepedulian dan tanggung jawab orang tua dengan memberikan saran dan masukan dalam upaya peningkatan hasil belajar siswa.

Penguatan komunikasi dua arah guru dan orang tua/ wali siswa bertujuan untuk mendapat informasi dan masukan tentang perkembangan siswa, baik dari keluarga kepada sekolah maupun sebaliknya. Komunikasi sekolah dengan keluarga dan masyarakat dapat dilakukan dalam beragam bentuk dan media. Misalnya, informasi yang dituliskan rutin melalui buku penghubung, pertemuan rutin wali kelas dengan orang tua/wali, komunikasi dalam wadah paguyuban orang tua siswa, komunikasi melalui media komunikasi seperti melalui pesan singkat (SMS), dan lain-lain yang sesuai.

Memahami semua permasalahan tersebut maka penulis menggunakan pendekatan interpersonal melalui suatu kegiatan PK. Kegiatan ini merupakan sebuah aplikasi nyata dari pendekatan kemitraan yang dicoba dilakukan penulis dalam rangka menciptakan keterbukaan antara orang tua siswa dan pihak sekolah. Penulis meyakini bahwa wadah paguyuban kelas merupakan solusi yang efektif untuk menjembatani komunikasi dan hubungan silaturrahmi antara orang tua siswa dan pihak sekolah yang pada gilirannya dapat membangun hubungan saling percaya (trust). Melalui hubungan saling percaya ini maka pihak sekolah dapat dengan mudah menanamkan pemahaman sekaligus mendorong orang tua siswa untuk terlibat aktif dalam memajukan pendidikan anak baik di dalam maupun di luar sekolah.  Hal ini sejalan dengan pendapat Anderson (1998: 589) yang menyatakan bahwa kemitraan antara sekolah dan orang tua siswa dapat terjalin melalui interaksi dalam bentuk pertemuan langsung (tatap muka), di sekolah, di rumah, atau bahkan di tempat kerja orang tua.

Kegiatan pemberdayaan paguyuban kelas bertujuan untuk menjalin komunikasi dan silaturrahmi dengan orang tua siswa dalam rangka meningkatkan peran partisipasi orang tua dalam mendukung perkembangan pendidikan anak. Terdapat sebuah proses penting sebelum kegiatan pemberdayaan paguyuban kelas dilaksanakan yaitu setiap guru kelas diwajibkan mengisi jurnal kelas yang berisi tentang hasil observasi guru terhadap perkembangan setiap siswa pada kelas mereka masing-masing. Penulis sebagai kepala sekolah mewajibkan setiap guru untuk mempelajari atau mengobservasi perilaku siswa di dalam dan di luar kelas untuk kemudian menuliskan perkembangan mereka di dalam sebuah jurnal. Hal ini bertujuan untuk mengidentifikasi kendala-kendala yang mungkin dihadapi siswa baik di dalam maupun di lingkungan sekolah. Sebagai contoh seorang siswa kelas 4 sering terlambat ke sekolah dan kurang bersemangat dalam mengikuti pelajaran. Guru kelas menuliskan kebiasaan siswa ini ke dalam jurnal yang kemudian dapat menjadi bahan diskusi dengan orang tua ketika kegiatan pemberdayaan paguyuban orang tua dilaksanakan

Alternatif semacam ini sengaja ditempuh oleh penulis karena siswa kadang takut untuk terbuka kepada guru jika ditanyakan mengenai masalah yang mereka hadapi. Oleh karena itu penulis mendorong guru untuk langsung mengkomunikasikan permasalahan ini kepada orang tua siswa. Dengan demikian orang tua siswa dapat mengetahui perkembangan dan permasalahan dimiliki oleh anak sekaligus berperan aktif untuk mencarikan solusi efektif untuk mengatasi permasalahan tersebut.

 

 


FGD Tingkatkan Motivasi Guru dalam Peningkatan Kualitas Pendidikan

Diskusi Kelompok Terarah atau Foccus Group Discusion (FGD) merupakan suatu proses pengumpulan informasi mengenai suatu masalah tertentu yang sangat spesifik (Irwanto, 2007). Menurut Prastowo (2008) Diskusi Kelompok Terarah atau Foccus Group Discussion (FGD) merupakan suatu bentuk penelitian kualitatif dimana sekelompok orang dimintai pendapatnya mengenai suatu produk, konsep, layanan, ide, iklan, kemasan/ situasi kondisi tertentu. Sedangkan Henning dan Columbia (1990) menjelaskan bahwa Diskusi Kelompok Terarah atau Foccus Group Discussion (FGD) adalah wawancara dari sekelompok kecil orang yang dipimpin seorang narasumber atau moderator yang mendorong peserta untuk berbicara terbuka dan spontan tentang hal yang dianggap penting dan berkaitan dengan topik saat itu.

Kelebihan dari FGD dalam kegiatan ini adalah berdasarkan segi kepraktisan dan biaya merupakan metode pengumpulan data yang hemat biaya/tidak mahal, fleksibel, praktis, elaborasif serta dapat mengumpulkan data yang lebih banyak dari responden dalam waktu yang singkat (Streubert & Carpenter, 2003). Selain itu, metode FGD memfasilitasi kebebasan berpendapat para individu yang terlibat dan memungkinkan para peneliti meningkatkan jumlah sampel penelitian mereka. Dari segi validitas, metode FGD merupakan metode yang memiliki tingkat high face validity dan secara umum berorientasi pada prosedur penelitian (Lehoux, Poland, & Daudelin, 2006).

  Penulis memilih FGD sebagai tahapan awal untuk membuka komunikasi dan keterbukaan dengan semua guru karena model diskusi seperti ini tidak pernah dilakukan di SDN Candisari. Hal ini juga bertujuan untuk memberikan ruang bai guru dalam menyampaikan permasalahan yang dihadapi.

Melalui proses ini penulis memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada anggota kelompok untuk menyatakan pendapat berdasarkan topic yang diberikan. Hal ini mengacu pada tujuan dari Diskusi KelompokTerarah atau FGD yaitu untuk memperoleh masukan atau informasi mengenai permasalahan yang bersifat lokal dan spesifik (Prastowo: 2008) .

Topik yang penulis angkat pada FGD ini adalah seputar kendala dalam proses pembelajaran di sekolah. Diskusi kelompok terarah ini melibatkan semua guru yang berjumlah 9 orang, baik guru kelas maupun guru mata pelajaran dan dilaksanakan di rumah makan satu satu setelah proses penerimaan siswa baru selesai dilaksanakan. Penulis mengemas proses FGD ini dalam suasana akrab dan kekeluargaan serta diselingi dengan acara “makan siang bersama” dengan tujuan untuk menghindari perasaan tertekan dari suasana formal yang mungkin timbul dan dapat menjadi rintangan komunikasi antara sesama kelompok diskusi. Penulis meminta para guru untuk secara terbuka menyatakan berbagai kekurangan dan permasalahan yang selama ini mereka hadapi termasuk solusi yang dapat mereka tawarkan. Dalam diskusi ini penulis hanya bertindak sebagai moderator atau fasilitator dan tidak melibatkan diri secara langsung dalam proses diskusi. Hal ini penulis lakukan untuk menjaga keleluasaan para guru dalam mengeluarkan gagasan atau pendapatnya selama proses diskusi.

Para guru menunjukkan antusiasme yang tinggi selama proses diskusi dan secara terbuka dapat mengkomunikasikan semua pendapat dan gagasan yang mereka miliki. Bahkan selama diskusi setiap guru secara sadar mengoreksi kekurangan mereka dalam proses pembelajaran di kelas termasuk kendala rasa percaya diri dan motivasi rendah yang mereka miliki. Di luar dugaan ternyata forum diskusi kelompok ini telah mampu menjadi “media curhat” bagi para guru dan mampu melunturkan semua tembok pemisah yang selama ini ada di antara para guru dan kepala sekolah.

 

 


Supervisi Klinis Tingkatkan Kinerja Guru

EMASLIM, bagi seorang Kepala Sekolah mungkin tidak asing lagi. Apakah EMASLIM itu? Seperti kita ketahui bahwa fungsi kepala sekolah ada tujuh macam yang sering dikenal dengan akronim EMASLIM ( Edukator, Manajer, Administrator, Supervisor, Leader, dan Motivator ). Di sini penulis akan memaparkan salah satu fungsi kepala sekolah, yaitu sebagai Supervisor.

Supervisor adalah orang yang melaksanakan supervisi yaitu kepala sekolah itu sendiri. Kebetulan penulis adalah seorang kepala sekolah. Untuk itu penulis akan sedikit berbagi pengalaman dalam melaksanakan supervisi akademik berkelanjutan dengan model supervisi klinis yang ternyata dapat meningkatkan kinerja guru.

Pertama, terlebih dahulu penulis akan menjelaskan pengertian supervisi klinis. Supervisi klinis adalah supervisi yang difokuskan pada perbaikan pembelajaran melalui siklus yang sistematis mulai dari tahap perencanaan, pengamatan dan analisis yang intensif terhadap penampilan pembelajarannya dengan tujuan untuk memperbaiki proses pembelajaran.

Berawal dari penulis menemukan berbagai masalah dalam proses pembelajaran, diantaranya guru ketinggalan iptek dalam proses pembelajaran; guru kehilangan identitas profesi; guru mengalami kejenuhan profesional (bornout); adanya pelanggaran kode etik yang akut; dan guru merugikan siswa karena tidak melayani sebagai mestinya,

Setelah penulis mengidentifikasi masalah yang ada, dilanjutkan merencanakan supervisi klinis. Di mana supervisi klinis ini bertujuan untuk :1) Menciptakan kesadaran guru tentang tanggung jawabnya terhadap pelaksanaan kualitas proses pembelajaran; 2) Membantu guru untuk senantiasa memperbaiki dan meningkatkan kualitas proses pembelajaran; 3) Membantu guru untuk mengidentifikasi dan menganalisis masalah yang muncul dalam proses pembelajaran; 4) Membantu guru untuk dapat menemukan cara pemecahan masalah yang ditemukan dalam proses pembelajaran; 5) Membantu guru untuk mengembangkan sikap positif dalam mengembangkan diri secara berkelanjutan.

Atas dasar permasalahan dan tujuan tersebut penulis menentukan indikator kerja atau rencana tindakan untuk mengatasi permasalahan tersebut melalui proses pengawasan dengan tahapan sebagai berikut : a) Pemantauan : dilakukan pada tahap perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian hasil pembelajaran melalui diskusi kelompok terfokus, pengamatan, pencatatan, perekaman, wawancara, dan dokumentasi; b) Supervisi klinis: dilakukan pada tahap perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian hasil pembelajaran yang dilakukan melalui pemberian contoh, diskusi, konsultasi, atau pelatihan; c) Pelaporan : hasil kegiatan pemantauan, supervisi, dan evaluasi proses pembelajaran disusun dalam bentuk laporan untuk kepentingan tindak lanjut pengembangan keprofesionalan guru secara berkelanjutan; d) Tindak lanjut : dilakukan dalam bentuk : 1) Penguatan dan penghargaan kepada guru yang menunjukkan   kinerja  yang memenuhi atau melampaui standar, dan 2) Pemberian kesempatan kepada guru untuk mengikuti program pengembangan keprofesionalan berkelanjutan.

 Supervisi klinis   dilaksanakan dua siklus tindakan. Model yang digunakan adalah mengikuti model alur yang dikembangkan oleh Kemmis dan Mc. Taggart. Model tersebut merupakan model yang didasarkan atas konsep pokok bahwa tindakan terdiri dari empat komponen pokok yang juga menunjukkan langkah, yaitu (1) perencanaan (planning), (2) pelaksanaan tindakan (acting), (3) Pengamatan (observating), dan (4) refleksi (reflecting) (Wiraatmadja, 2006 : 64).

Seorang kepala sekolah sebagai pelaksana supervisi klinis harus mengetahui dan memahami prinsip-prinsip supervisi klinis, yaitu : 1) Hubungan antara supervisor dengan guru, kepala sekolah dengan guru, guru dengan mahasiswa PPL adalah mitra kerja yang bersahabat dan penuh tanggung jawab.; 2) Diskusi atau pengkajian balikan bersifat demokratis dan didasarkan pada data hasil pengamatan; 3) Bersifat interaktif, terbuka, obyektif dan tiidak bersifat menyalahkan; 4)Pelaksanaan keputusan ditetapkan atas kesepakatan bersama; 5) Hasil tidak untuk disebarluaskan; 6)Sasaran supervisi terpusat pada kebutuhan dan aspirasi guru, dan tetap berada di ruang lingkup pembelajaran; 7) Prosedur pelaksanaan berupa siklus, mulai dari tahap perencanaan, tahap pelaksanaan (pengamatan) dan tahap siklus balikan..

Demikian supervisi klinis yang dilakukan penulis. Ternyata sangat berpengaruh bagi peningkatan kinerja guru. Oleh karena itu penulis berharap kepada kepala sekolah dan pengawas sekolah agar melaksanakan supervisi klinis berkelanjutan secara rutin setiap semester. Semoga bermanfaat.